Cerpen, Kuliner, Musik

Jumat, 17 Mei 2019

Berita Duka dan Minggu yang Celaka

Cerpen Pikiran Rakyat

Oleh: Bia R

Pagi itu, di hari minggu yang teramat cerah, seorang lelaki muda menghampiri lapak penjual koran. Diambilnya dua koran nasional dari media berbeda dan satu koran lokal. Kemudian ia membayar koran-koran tersebut dengan
selembar uang dua puluh ribuan. Saat penjual koran yang sudah aki-aki itu meraba saku celana komprangnya untuk mengambil kembalian, lelaki gondrong itu mencegahnya.
"Tidak usah, Pak. Kembaliannya buat Bapak saja," katanya lembut. Kemudian ia berlalu dengan tiga koran yang di pegangnya.
Sang penjual koran menatapnya penuh takjub. Lelaki tua itu mengira jika lelaki tadi tidak bermaksud membaca koran. Ia hanya iba padanya yang sudah renta dan memaksakan diri berjualan koran untuk menyambung hidup.
Lelaki kurus itu berjalan ke arah taman kota. Sesampainya di sana, ia duduk di bangku taman, di bawah pohon ketapang yang rindang. Dibukanya koran itu, tepat di halaman rubrik sastra. Sorot matanya terlihat redup seketika saat tak didapatinya satu karya sastra pun. Ia sudah berulang kali membuka tiap halaman koran, barangkali rubrik sastra pindah halaman. Tetapi tak ditemukannya juga. Begitu pula dengan koran ke dua dan ke tiga.
Lelaki itu berlari dan menemui penjual koran. Hampir seluruh koran dari berbagai media yang dijual aki-aki itu ia ambil. Si penjual koran semakin yakin, pemuda gondrong itu memang ingin bersedekah padanya. Beberapa orang yang sedang membuka koran menatapnya heran. Tidak terkecuali kerumunan orang yang sedang memilih aksesoris di lapak yang ada di samping penjual koran.

Ilustrasi: Adhimas Prasetyo/snchnapcuss/terbakar/akrilik di atas kanvas (2019)

Setelah membuka halaman demi halaman dari seluruh koran yang dibelinya itu, ia tidak menemukan satu pun cerita atau puisi di koran-koran itu. Bahkan opini dan esai pun tidak ada, setelah beberapa hari tak ada koran yang memuat opini, esai, bahkan tajuk. Ia kembali memeriksa tanggal terbit, dan matanya tidak salah melihat, mengeja, dan membaca. Memang benar hari minggu, pada tanggal, bulan, dan tahun yang sama dengan hari itu.
Lelaki itu merogoh ponsel pintar dari saku celana jinsnya yang sudah pudar dan robek jahitan sisi sakunya. Ia segera membuka media daring dan hasilnya sama seperti di koran. Tidak ada satu pun karya sastra yang muncul. Dari gawainya yang sudah mudah low batt itu, ia membuka media sosial dan buru-buru meluncur ke grup yang berisi info pemuatan cerpen. Di sana, ia mendapati pengumuman dari admin grup.
Pemuatan cerpen, pusi, opini, dan esai, nampaknya tidak ada di koran nasional A, koran nasional B, dan C. Begitu pula dengan koran lokal E, F, dan G. Bagi yang punya info pemuatan karya sastra dari media lain, silakan tulis di kolom komentar.
Lelaki berkumis tipis itu segera membaca komentar-komentar orang satu per satu. Keringat terus berkucuran dari sekujur tubuhnya.Jantungnya semakin berdebar tak keruan saat ia membaca kalimat-kalimat yang berbaris di kolom komentar. Tidak ada satu pun yang memberitakan ada cerpen, puisi, atau opini lainnya yang dimuat media sejak senin kemarin. Rubrik sastra di setiap media berganti dengan wawancara tokoh politikBencana macam apa ini? Batinnya.
Lelaki itu bersandar pada kursi panjang yang didudukinya. Selembar daun ketapang yang masih hijau gugur tepat mengenai kepalanya, dan tersangkut di rambut ikalnya yang gondrong. Ia menyulut sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Asap mengepul dari lubang hidungnya yang tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil. Ia masih tidak percaya dengan apa yang terjadi hari itu. Barangkali karena kurang merokok, ia jadi hilang kesadaran, sehingga apa yang dilihatnya adalah mimpi buruk. Ya. Mimpi. Mimpi yang buruk. Kemudian lelaki itu membuka kembali bagian rubrik sastra dari setiap koran. Sejenak ia diam menempelkan api rokok ke tangan kirinya, lalu ia yakin, dirinya tidak bermimpi.
Dengan perasaan yang tidak bersemangat, ia menghubungi salah satu temannya yang menjadi editor di sebuah media nasional.
"Selamat pagi menjelang siang, Bung!"
"Selamat pagi Bung. Ada apa? Tumben menelpon."
Tanpa berbasa-basi lagi, ia segera menanyakan perihal lapak penulis yang hilang di setiap media. Temannya yang ditelpon itu tertawa. Barangkali sampai terpingkal-pingkal, meski tidak ada kelucuan sama sekali.
"Mohon maaf, Bung. Saat ini cerpen, puisi, dan karya sastra apapun sedang tidak diminati pembaca. Orang-orang lebih suka membaca berita politik. Ke depannya, setiap minggu akan dimuatberita-berita politik."
“Benarkah?”
"Tentu saja, Bung."
Dia terdiam sejenak. "Jadi, selama itu tidak akan ada pemuatan karya sastra?"
"Betul, Bung. Sampai masa kampanye dan pesta demokrasi selesai. Sampai beberapa minggu setelah diumumkanya presiden. Bahkan, mungkin juga setelah itu kami akan mengisi rubrik tersebut dengan berita para caleg yang gagal dan berhasil. Itu sungguh akan menjadi bisnis menguntungkan. Bung tahu sendiri, kan. Sekarang orang-orang lebih suka membaca berita politik daripada cerpen dan puisi. Politik itu lebih fiktif dan sangat menghibur," katanya sambil terbahak.
Lelaki itu menghela nafas begitu berat. Seberat beban yang ditanggung janda miskin beranak selusin. Berita itu benar-benar menggelapkan hidupnya, dan juga teman-temannya. Orang-orang yang berdebar ketika pagi saat hari minggu tiba, dan bahagia tatkala tulisan mereka dimuat. Tulisan mereka dibaca banyak orang, diapresiasi, dijadikan pelajaran hidup, dan terkadang diplagiasi. Tetapimereka tetap bahagia. Tidak seperti saat berita duka itu datang. Berita yang terdengar seperti bencana besar bagi mereka. Lebih besar dari dahsyatnya tornado yang menimpa St. Louis,  Amerika Serikat. Lebih mengerikan dari badai petir di Danau Maracaibo, Venezuela.
Lelaki itu membuka kembali akun sosial media. Ia melihat teman-temannya mulai berduka lewat ke beranda akun sosmednya. Mereka menuliskan keluhan dan kesedihan akan berita duka itu. Bahwa orang-orang tidak lagi menyukai cerita-cerita, puisi-puisi, dan pendapat orang lain entah opini, rubrik atau lainnya. Tidak ada yang mereka minati selain kabar politik dan berita ormas.
Semua media tidak akan memuat opini, cerita, puisi dan karya sastra lainnya di koran. Tidak ada yang dimuat selain berita politik dan kegiatan ormas yang kadang bikin gemas, dan kehidupan para elite. Bahkan percetakan buku menghentikan pencetakan selama masa kampanye. Mereka akan libur karena buku-buku tidak laku, selain tentang politik, biografi tokoh politik dan ketua ormas, atau kumpulan motivasi dari para tokoh politik yang dianggap Tuhan sehingga selalu dibenarkan perkataannya, dan dibiarkan berbuat semaunya. Lelaki itu membuang rokoknya yang masih panjang, kemudian menutup matanya perlahan. Dan dari sana, mengalirlah butiran hangat yang penuh kehampaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar